Kamis, 12 Juli 2012

 CERITA SARIDIN (SYAH JANGKUNG ) YANG BERADA DI DESA KAYEN  DUKUH LANDOH



Saat era Wali Songo
Di suatu daerah di pesisir utara pulau Jawa, tepatnya di daerah Pati, tersebutlah seorang pemuda desa yang lugu dan bersahaja, bernama Saridin. Nama Saridin mungkin tidak begitu tenar secara nasional, tapi sudah melegenda secara regional. Region itu adalah wilayah Demak Kudus Pati Juwono Rembang, atau yang sering dilafadzkan sebagai Anak Wedus Mati Ketiban Pedang.

Saridin seorang sakti, namun lugunya tidak ketulungan, sehingga (seakan) tidak menyadari kesaktiannya.Dia pernah membunuh kakak iparnya, karena sang kakak sering mencuri durian miliknya. Saat itu kakaknya menyamar menggunakan pakaian harimau, sehingga Saridin tidak mengenali. Dengan sekali tombak, matilah sang ipar.Saat ditanya oleh petugas, Saridin mengaku tidak membunuh kakaknya, melainkan membunuh harimau yang mencuri duriannya. Meskipun jika pakaian harimau dibuka, Saridin tau bahwa itu kakak iparnya.Kalo secara hukum, Saridin tidak bersalah, karena membela miliknya, dan tidak menyadari kalo harimau itu adalah kakaknya.Namun demikian, Saridin tetap harus dipenjara.Untuk memasukkan ke penjara bukan hal mudah, karena Saridin ngotot tidak bersalah.

Akhirnya Adipati Jayakusuma, pemimpin pengadilan, menggunakan kalimat lain, bahwa Saridin tidak dipenjara, melainkan diberi hadiah sebuah rumah besar, diberi banyak penjaga, makan disediakan, mandi diantarkan. Akhirnya Saridin bersedia.Sebelum dipenjara, Saridin bertanya apakah boleh pulang kalo kangen anak dan istrinya. Petugas menjawab: "boleh, asal bisa"Dan terbukti beberapa kali Saridin bisa pulang, keluar dari penjara di malam hari dan kembali lagi esok harinya.Karena Adipati jengkel, Saridin dikenai hukuman gantung. Tapi saat digantung para petugas tidak mampu menarik talinya karena terlalu berat. Saridin menawarkan ikut membantu, dijawab oleh Adipati: "boleh, asal bisa". Dan karena ijin itu Saridin lepas dari talinya, lalu ikut menarik tali gantungan.Adipati semakin murka, dan menyuruh membunuh Saridin saat itu juga. Sebuah tindakan putus asa seorang penguasa.

Saridin melarikan diri sampai ke Kudus, yang lalu berguru pada Sunan Kudus. Di sini Saridin tidak berhenti menunjukkan kesaktiannya, malah semakin menonjol.Saat disuruh bersyahadat oleh Sunan Kudus, para santri lain memandang remeh pada Saridin, apa mungkin Saridin bisa mengucapkannya dengan benar.Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan semua orang. Saridin justru lari, memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi, dan tanpa ragu terjun dari atasnya. Sampai di tanah, dia tidak apa-apa. Semua pada heran pada apa yang terjadi.Sunan Kudus menjelaskan, bahwa Saridin bukan cuma mengucapkan syahadat, tapi seluruh dirinya bersyahadat, menyerahkan seluruh keselamatan dirinya pada kekuasaan tertinggi. Kalo sekedar mengucapkan kalimat syahadat, anak kecil juga bisa.Namun Saridin masih tetap dilecehkan oleh para santri.


Saat ada kegiatan mengisi bak air untuk wudlu, Saridin bukannya diberi ember, malah diberi keranjang. Tapi dengan keranjang itu pula Saridin bisa mengisi penuh bak air.Saat Saridin mengatakan bahwa semua air ada ikannya, tidak ada yang percaya. Akhirnya dibuktikan, mulai dari comberan, air kendi sampai air kelapa, ketika semua ditunjukkan di depan Saridin, semua ada ikannya.Akhirnya Saridin diusir oleh Sunan Kudus, harus keluar dari tanah Kudus.Singkat cerita, Saridin yang ternyata murid dari Sunan Kalijaga ini bertemu lagi dengan gurunya. Saridin diperintahkan untuk bertapa di lautan, dengan hanya dibekali 2 buah kelapa sebagai pelampung. Tidak boleh makan kalo tidak ada makanan yang datang, dan tidak boleh minum kalo tidak ada air yang turun.

Pada akhirnya, Saridin dikenal sebagai Syeh Jangkung, yang tinggal di desa Landoh, Kayen, Pati.Juga mengenai kerbau milik Saridin, yang semula sudah mati, tapi karena (konon) Saridin memberikan sebagian umurnya pada kerbau itu, jadinya kerbau itu hidup lagi. Pada saat Saridin meninggal, kerbau itu juga mati. Lulang (kulit) kerbau tersebut diyakini memiliki kekuatan magis. Barang siapa membawanya, maka tidak akan mempan senjata. Sampai saat ini para kolektor benda antik masih banyak yang memburu kulit ini, yang bernama Lulang Kebo Landoh.

Syeh Jangkung ketika Kecil Sangat Nakal
SIAPA sebenarnya Saridin itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16. Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.

Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin harus dilarung ke kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup ketoprak di Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun merebak.

Ketika masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati.Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ''Mbokne (ibunya) Momok" dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.

Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang hari.

KiasanSemua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang makan durian yang jatuh.Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain adalah Branjung.

Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin.


Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati. Pulang Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.

Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga
ONTRAN - ontran Saridin di perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.

Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, "Apakah setiap air pasti ada ikannya?" Saridin dengan ringan menjawab, "Ada, Kanjeng Sunan."Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul.Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran.

Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air.Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.Namun apa jawab santri itu? ''Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.'' Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.

Dalam WC
Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus.

Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC, ke bagian paling pribadi wanita itu. Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri menguber ke mana pun dia bersembunyi. Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan.


Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam. Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.

Lulang Kebo Landoh Tak Tembus SenjataATAS jasanya menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.

Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.Membagi Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada binatang tersebut.

Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.

Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang.Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya.

SAMINISME KETOPRAK: "Ideologi" Samin juga hadir dalam pentas ketoprak di Pati. Grup Cahyo Mudho menampilkan siasat nggendheng lewat salah satu tokoh dalam sebuah adegan.(55i) - SM/Sucipto Hadi Purnomo

DI samping berinteraksi secara langsung dengan komunitas wong sikep, sebagaimana yang ada di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, paling tidak ada dua cara lagi untuk memahami orang Samin. Pertama, membaca "kitab suci" mereka dan kedua, menonton ketoprak. Mengapa ketoprak? Harap tahu saja, ketoprak merupakan seni pertunjukan yang paling populer di daerah Pati dan sekitarnya. Ketoprak, sebagai seni drama, tak hanya acap menampilkan cerita tentang ketokohan Samin, tetapi juga sering menyajikan lakon lain yang menjinjing nilai-nilai saminisme.

Memang cerita Samin di panggung ketoprak boleh dibilang amat jarang terpentaskan. Namun cerita lain yang memiliki kesejajaran dengan sepak terjang Samin atau adegan-adegan yang menjadi ajang transformasi ajaran Samin, tak terlalu sukar ditemukan. Apalagi di luar bulan Sura, lebih-lebih pada bulan-bulan "baik" untuk menyelenggarakan hajatan, hampir setiap hari bisa disaksikan pementasan ketoprak di kawasan itu hingga sekarang.

Sekurang-kurangnya mendengarkan pemutaran kasetnya yang dipancarkan lewat pengeras suara atau radio lokal.Contohnya lakon Saridin atau Syeh Jangkung, terutama bagian Andum Waris. Lewat pita kaset rekaman Dahlia Record, sekitar 20 tahun lalu, boleh dibilang lakon yang disajikan Ketoprak Sri Kencono Pati ini paling digemari. Tak jarang pula dipentaskan di panggung tanggapan. Malahan pada akhir tahun 80-an, hampir tiada hari tanpa pemutaran lakon yang terdiri atas beberapa seri, mulai dari Andum Waris, Pager Mangan Tanduran, Ontran-ontran Cirebon, Ontran-ontran Mataram, Sultan Agung Tani, sampai Keris Syeh Jangkung (Ondho Rante) ini. Tak mengherankan jika lakon ini menjadi bagian dari ingatakan kolektif masyarakat Pati dan sekitarnya. Memang selama sepuluh tahun terakhir ini, frekuensi pemutaran ataupun pementasannya kian berkurang.


Pesona Saridin Selain sebagai cerita yang dekat secara psikografik dengan warga masyarakat ini, apa yang menarik dari lakon itu? Dikisahkan, Saridin adalah seorang yang hidup serbakurang secara ekonomi. Ia harus menghidupi istrinya dan anaknya.Saridin tak punya tempat mengadu, kecuali kepada saudara satu-satunya, Nyi Branjung. Namun suami Nyi Branjung teramat kikir.

Saridin ingat, almarhum kedua orang tuanya mewariskan beberapa pohon durian. Kebetulan pohon itu sedang berbuah. Karena itu, kepada sang kakak dan iparnya, dia menyatakan minta bagian. Ki Branjung tak menolak, namun dengan ketentuan, jika jatuh pada siang hari, durian menjadi miliknya. Sebaliknya jika jatuh pada malam hari, buah itu menjadi hak Saridin.Terang saja, durian lebih sering jatuh pada malam hari. Namun Ki Branjung tak kurang akal. Dengan dibalut pakaian layaknya macan, dia menakut-nakuti Saridin. Saridin tak tinggal diam. Sebuah bambu runcing ia hujamkan ke tubuh "harimau" itu hingga "binatang" itu tewas.

Tentu saja orang-orang dan aparat desa segera meringkus laki-laki itu dengan satu tuduhan: Saridin membunuh kakak iparnya. Itu pula tuduhan yang diberikan oleh pengadilan Kadipaten Pati yang dipimpin Adipati Jayakusuma. Namun Saridin menampiknya. "Menapa kula sampun edan kok mateni kakang kula piyambak. Ingkang kula pejahi menika macan (Apakah saya sudah gila kok sampai hati membunuh kakak saya. Yang saya bunuh ini harimau)," katanya. Saridin juga menolak ketika akan dipenjara. "Kula boten lepat kok diukum (Saya tidak salah kok dihukum)," katanya.

Sang Adipati tak kurang akal. Dia berkata, Saridin tidak dihukum, tapi diberi ganjaran. Saridin disuruh tinggal di sebuah rumah gedhong, dijaga oleh beberapa prajurit, dan bila waktunya makan sudah ada yang mengantarkan makanan. Begitu pula jika hendak mandi."Menawi kula kangen anak-bojo, menapa pareng mantuk? (Jika saya kangen ana-istri, apakah boleh pulang?)" tanya Saridin."Kena, waton bisa (Boleh, asalkan bisa)," titah sang Adipati.

Kata-kata Adipati rupanya menjadi pegangan Saridin. Dia menjenguk anak-istrinya tanpa diketahui penjaga penjara.Tentu saja hal itu membuat penguasa Kadipaten Pati murka. Dia memutuskan hukuman gantung buat Saridin. "Menapa kula kepareng tumut narik talinipun, Kanjeng Adipati? (Apakah saya boleh membantu menarik talinya, Kanjeng Adipati?)" tanya Saridin.Lagi-lagi sang Adipati berujar, "Kena, waton bisa (Boleh, asalkan bisa)."Lagi-lagi pula Saridin membuat pangeram-eram. Dia membantu para prajurit menarik tali gantungan yang mengikat lehernya. Sang Adipati kian murka dan memerintahkan melemparkan segala senjata ke tubuh Saridin.

Lelaki asal Desa Miyono itu pun lari, hingga sampai di Paguron Panti Kudus.Di situ dia berguru pada Sunan Kudus, hingga suatu hari dia mengusung air untuk mengisi padasan (gentong wudu) dengan keranjang. Kepada Sunan Kudus dia juga mengatakan, setiap yang ada airnya pasti ada ikannya. Mula-mula genangan di dekat padasan, kemudian kendi berisi air, dan buah kelapa. Saridin mampu membuktikan, di semua tempat itu ada ikannya.

Apa yang dilakukan oleh Saridin -terutama keluguan yang cenderung naif- serta argumen yang ia bangun, sangat mudah untuk dihubungkan dengan berbagai aforisme orang Samin. Lebih-lebih pada lakon yang dibawakan oleh Ketoprak Sri Kencana itu, secara eksplisit sang Adipati berkomentar terhadap diri Saridin, "Pancen wong Samin (Memang orang Samin)." Tak hanya itu, dalam berbagai ungkapannya, Saridin juga berujar, "Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Aja kutil jumput, bedhog-colong (Jangan dengki, jangan suka bertengkar, jangan iri. Jangan suka mengambil milik orang lain tanpa seizin pemiliknya)." Ungkapan-ungkapan itu merupakan bagian dari tradisi lisan yang amat populer di kalangan orang Samin. Dan, personifikasi Saridin sebagai orang Samin pun kian lengkap ketika ia memilih sikap nggendheng begitu menghadapi hegemoni kekuasaan.

Menurut cerita tutur, dulu di Peguron Adam -tempat Samin mengajari pengikutnya- di samping diajarkan perilaku hidup di dunia dan akhirat, juga diajarkan cara melawan pemerintah Kolonial Belanda. Ajaran itu adalah sipat nggendheng, yakni pura-pura gila, pura-pura edan, pura-pura bersifat aneh. Siasat ingat untuk lupa, lupa untuk ingat!

Harap tahu pula, petilasan Saridin -yang pada masa tuanya bernama Syeh Jangkung- di Desa Landoh, Kayen, Pati hanya berjarak sekitar 10 kilometer dari Dukuh Bombong. Hingga sekarang, tempat itu tak pernah sepi dari peziarah, terutama pada hari Kamis Legi."Di makam ini, dengan menebing ati, kita bisa ngleluri kembali wirayate Mbah Jangkung dengan laku nistha, ora melik drajad, pangkat, lan kadonyan," kata Soetjipto (60) asal Rembang yang mengaku sudah 60 hari berada di tempat itu. Lagi-lagi ungkapan itu paralel dengan konsepsi nrima bagi wong Samin.

Kitab SuciJika kesenian menjadi ajang untuk mentransformasikan, membiakkan sekaligus membakakan ajaran Samin, kitab-kitab di kalangan mereka agaknya bisa menjadi "rujukan primer". Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh wong Samin.Dengan memedomani kitab itulah, wong Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."Memang, pada umumnya aforisme orang Samin lebih banyak disampaikan secara lisan, termasuk lewat cerita tutur. Namun jika dirunut lebih jauh, berbagai kitab suci yang ditulis oleh Samin Surontika itu tetap saja menjadi sumber utama. (Sucipto Hadi Purnomo-33)

MAKAM SARIDIN / SYEH JANGKUNG
Objek wisata ini berupa makam Saridin atau terkenal dengan nama Syeh Jangkung konon merupakan salah seorang murid Sunan Kalijaga (Wali Songo). Lokasi : Makam tersebut terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen. Jarak dari kota Pati kira-kira 17 Km kearah selatan menuju Kabupaten Grobogan. Makam ini banyak dikunjungi orang setiap hari Jum'at Kliwon dan Jum'at Legi. Upacara khol dilaksanakan setiap 1 tahun sekali yaitu pada bulan Rajab tanggal 14-15 dalam rangka penggantian kelambu makam.
Fasilitas : Bangunan Pendopo dan bangunan mesjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar